Ikhtilaf lazim diartikan sebagai perbedaan, termasuk perbedaan di dalam memahami agama dan menafsirkan kitab suci. Islam adalah salah satu agama yang menghargai perbedaan. Sebuah pernyataan populer menyebutkan bahwa perbedaan adalah rahmat (ikhtilâf al-a`immah rahmah). Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, "Ma yasurruni lau anna ummata muhammadin lam yakhtalifû (Saya senang kalau umat Muhammad berbeda pendapat)."
Indahnya perbedaan pendapat itu menginspirasi Abi Abdillah Muhammad bin Abdirrahman al-Dimasyqi untuk memberi judul bukunya dengan Rahmatul Ummah fiy Ikhtilâf al-A`immah (Keuntungan Umat dari Perbedaan Para Imam).
Namun, lain yang diidealkan lain pula yang dilaksanakan. Perbedaan kerap berakhir dengan kekerasan. Sebagian ulama yang menyampaikan tafsir keagamaan berbeda dipersonanongratakan, dipenjarakan, dipukul, disiksa, dicaci-maki, dan buku-bukunya dibakar. Ibnu Jarir Al-Thabari (w. 310 H/923 M) menjalani sebagian hidupnya dalam penderitaan karena disiksa pengikut fanatik Ahmad bin Hanbal.
Orang yang mau mengunjungi kediaman Thabari diancam. Buku-bukunya dihanguskan. Kitab tafsir buah karyanya, Jâmi’ al-Bayân fiy Ta`wil al-Qur`an, dianggap sebagai sampah karena dinilai mengandung cerita-cerita israiliyat. Kitab tafsir tersebut lalu dibakar bersamaan dengan buku-bukunya yang lain. Tak puas sampai di situ, kuburan Thabari pun kerap dilempari kotoran.
Namun, kini semua umat Islam tahu bahwa tafsir al-Thabari adalah tafsir yang sahih. Apa yang dahulu dipandang sebagai sampah telah dipandang sebagai sesuatu yang penting.
Abu Hayyan al-Tawhidi (w. 414 H/1023 M) juga pernah disiksa sepanjang hayat. Abu Bakar al-Sarakhshi (w. 483 H/1090 M), salah seorang ahli fikih bermazhab Hanafi, menulis kitab al-Mabsuth-nya di ruang penjara. Orang sealim al-Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah (w. 150 H/767 M) yang kini pendapat-pendapatnya diikuti banyak orang, dulu oleh sebagian ulama dipandang menyesatkan.
Ibnu Hibban al-Busti dalam al-Majruhin min al-Muhaddisin wa al-Dhu’afa` wa al-Matrukin menyatakan bahwa Abu Hanifah tak lebih dari seorang penyeru bid’ah dan kafir. Abu Hanifah pernah didesak untuk mencabut sejumlah pendapatnya dan segera bertobat dari kekufuran. Bukan hanya Abu Hanifah, Al-Busti pun mengafirkan ulama-ulama lain; Muhammad bin Hasan al-Syaibani (189 H/802 M) dianggap sebagai penyebar kebohongan dan bukan seorang ahli fikih. Muqatil bin Sulaiman al-Balkhi (w. 150 H/767 M) dianggap sebagai orang fasik dan fajir. Padahal, kata Imam Syafi’ie (w. 204 H/820 M), sejauh menyangkut soal tafsir, kita ini adalah anak-anak yang bergantung kepada Muqatil.
Rupanya, mentalitas arkaik dengan mengafirkan dan menghujat orang lain itu tak surut dalam fenomena keberislaman kita kontemporer. Bahkan, ia tampak cenderung menaik. Keberislaman Indonesia juga kian terkotori kabut kelam pengafiran. Cak Nur terus dihujat dan dikafirkan sekalipun dia sudah meninggal satu tahun yang lalu.
Gus Dur jelas; di sejumlah tempat dia dihujat dan darahnya dihalalkan. Tapi, biasanya dia melawan, kemudian tak peduli. Gus Dur adalah tipe kiai yang la yakhafu lawmata la`im (tak gentar dengan cemoohan orang lain ketika menyatakan pendapat).
Saya mulai mendengar, sekelompok orang gencar menghujat para kiai yang menolak perda syariat dan bentuk-bentuk formalisasi syariat Islam lainnya. Memang, bagi para kiai itu, fikih cukup dijadikan sebagai etika sosial dan bukan sebagai hukum positif negara. Atas pandangannya itu, sejumlah kiai menuai caci maki. Di mata para pemaki itu, menolak formalisasi syariat Islam sama saja dengan mengapkir syariat Islam.
Betapa merisaukannya kultur takfir ini. Ia telah menjadi benalu yang mengganggu tumbuh-suburnya semangat Islam yang rahmatan lil alamin. Benalu itu tentu tak menyehatkan. Karena itu, pada hemat saya, tradisi pengafiran tersebut sudah waktunya segera dihentikan dan dicabut dari tubuh umat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar