Selasa, Februari 10, 2015

TEMON (KRjogja.com) - Konflik sosial yang terjadi di wilayah pesisir selatan Kulonprogo dewasa ini menyusul adanya rencana pembangunan mega proyek bandara dan penambangan pasir besi mengundang keprihatinan Lembaga Kajian Resolusi Konflik. Perbedaan pendapat terhadap rencana pembangunan wilayah tersebut telah mengganggu kerukunan hidup masyarakat sehingga muncul kelompok pro dan kontra yang berakibat diterapkannya sanksi sosial. "Kami sangat prihatin atas kondisi yang terjadi saat ini. Hanya karena berbeda pandangan timbul konflik sosial serius di masyarakat," kata Ketua Lembaga Kajian Resolusi Konflik, Muqoffa Mahyuddin, SAg MHum usai Mujahadah Perdamaian dan Kebersamaan Dalam Islam, Masyarakat Pesisir Kulonprogo di Masjid Ainul Jariyah Pedukuhan Ngelak Desa Jangkaran Kecamatan Temon, Minggu (1/2/2015). Mujahadahan dihadiri warga pesisir selatan Kecamatan Temon yang terkena pembangunan bandara, baik kelompok yang pro maupun kontra. Ketua Wahana Tri Tunggal (WTT) Martono bersama sejumlah pengurus paguyuban yang selama ini menolak bandara nampak hadir dan berbaur dengan jamaah lain. Mujahadahan, tahlil dan doa dipimpin KH Drs Muttaqim Mujid. Menurut Muqoffa, dari hasil survey, konflik sosial ternyata telah menyatu dalam diri masyarakat. Hal tersebut tercermin dengan adanya warga yang tidak mau menghadiri hajatan pernikahan ataupun takziyah antaranggota kelompok. Pihaknya khawatir kondisi tersebut akan diwariskan kepada anak cucu hingga waktu yang sangat lama. Muqoffa berharap, mujahadah bisa menginspirasi semua kelompok untuk mengakhiri konflik sosial. Pendekatan agama seperti mujahadah diharapkan bisa jadi media penyembuh hati sehingga masyarakat kembali hidup rukun. "Minimal dengan berdoa dan makan bersama bisa jadi langkah awal warga untuk kembali ke kehidupan lama yang lebih tentram," jelasnya. Dalam upaya mengembalikan kerukunan hidup masyarakat di wilayah pesisir selatan Temon,  Lembaga Kajian Resolusi Konflik akan menggandeng para tokoh agama untuk terus mengkaji penyebab-penyebab sekaligus mencari solusi agar persoalan-persoalan yang timbul segera bisa berakhir. "Mereka (tokoh agama-Red.) akan kami ajak untuk aktif menggelar pengajian sekaligus memberikan pencerahan. Mudah-mudahan ke depan mujahadah dan pengajian bisa dilaksanakan di masjid-masjid lain di Temon," harapnya. Tokoh Desa Jangkaran, M Sururudin mengapresiasi Lembaga Kajian Resolusi Konflik yang telah memprakarsai upaya penyatuan umat di wilayah pesisir selatan Kulonprogo. Pihaknya yakin acara tersebut bisa menyadarkan masyarakat dan tidak terjebak dalam kepentingan pragmatis. Mujadahan dan kajian bisa jadi pintu gerbang bagi rekonstruksi kemanusiaan. "Menurut kami acara seperti ini cukup penting, karena itu kami berharap ke depan kegiatan-kegiatan serupa bisa berlanjut, sehingga jalinan tali silaturrahmi warga menjadi harmonis kembali," jelasnya. Martono sepakat dengan pernyataan Muqoffa. Bahkan dirinya juga berharap kegiatan keagamaan tersebut bisa dilaksanakan rutin sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hanya saja untuk diwilayah Desa Glagah dan sekitarnya, pihak penyelenggara perlu berkoordinasi secara intensif. "Karena di sana tidak semudah membalikkan telapak tangan, perlu proses," terangnya. (Rul)

Tidak ada komentar: