Selasa, Februari 10, 2015

Resolusi Konflik Syria Ada yang bertanya kepada saya, Perang Syria ini perang politik atau perang antarmazhab? Kalau menggunakan teori Resolusi Konflik, dalam menganalisis konflik, kita perlu melihat petanya secara luas. Bayangkan kalau Anda mau meneliti konflik di Sampang, Madura (rumah-rumah penduduk di sebuah desa dibakar massa dan hartanya dijarah). Anda bisa membuka peta dan hanya memusatkan mata Anda pada wilayah Sampang (dan semata-mata melihat: ini gara-gara adanya aliran ‘sesat’ di desa itu), tapi bisa juga Anda memperlebar fokus. Anda bisa pandang peta Indonesia dan dunia secara keseluruhan, termasuk laut di Madura yang kaya minyak, Anda juga perhatikan wilayah Arab Saudi, Qatar, Israel, Amerika Serikat. Jadi, kalau Anda mau melihat konflik Syria hanya pada fakta bahwa Assad itu dari sekte Alawi (yang konon katanya kafir dan zalim), dan karena itu harus digulingkan demi menegakkan agama Allah, itu artinya Anda hanya fokus pada satu titik kecil di peta dan melupakan wilayah-wilayah lain di peta yang sebenarnya mungkin lebih berpengaruh. Minimalnya ada empat faktor yang terlibat dalam sebuah konflik, yaitu triggers (pemicu), pivotal (akar), mobilizing (peran pemimpin), dan aggravating (faktor yang memperburuk situasi konflik). Keempat faktor ini umumnya berjalin berkelindan dalam sebuah konflik, sehingga sering menimbulkan kesalahan persepsi. Saya sendiri, lebih setuju pada analisis para pakar politik Timur Tengah yang menyebutkan bahwa faktor mazhab hanya triggering, pemicu. Yang namanya pemicu, ibarat pistol, nggak akan meletus kalau tidak ada yang menarik pelatuknya. Berusaha menyelesaikan konflik di pertanyaan siapa yang narik pelatuknya (misalnya, siapa yang salah: Assad yg zalim, atau kelompok yang memberontak sehingga pemerintah mau tak mau harus melawan? Atau; apa benar Alawi itu kafir? Kalau kafir apa wajib diperangi, dst, yang akan melibatkan perdebatan teologis yang tidak ada ujungnya) tidak akan menyelesaikan masalah (istilahnya: konflik tidak bisa teresolusi). Jadi, dalam menganalisisnya, musti dicari akar konflik yang sebenarnya. Untuk mendapatkannya, fokus dalam menatap konflik ini harus diperluas. Lihat lagi, siapa yang meng-aggravating konflik (saya belum nemu istilah Indonesia yang pas untuk ini, ada yang tau?), siapa tokoh-tokoh yang terlibat dalam konflik (perhatikan betapa Hollande dari Paris, Obama dari Washington, Cameron dari London, Erdogan dari Ankara, atau tokoh Zionis Bernard Levy sedemikian bernafsu menggulingkan Assad, dan bahkan memberi suplai bantuan dana dan senjata kepada pemberontak. Mengapa?), siapa negara-negara yang selama ini jadi ‘teman’ Assad, siapa yang memusuhi, dan siapa yang mendapatkan keuntungan terbesar bila Assad tumbang? Mengapa Arab Saudi, Libya, dan Qatar mau menyuplai senjata, pasukan, dan dana kepada oposisi? Dst. Intinya, buat kita bangsa Indonesia, kita musti belajar dari kasus ini. Bayangkan ngerinya bila suatu saat ada kelompok yang mengobarkan isu ini-itu untuk membangkitkan permusuhan atau bahkan perang saudara di Indonesia. Kalau kita cerdas dan mampu melihat peta konflik dengan jernih, insya Allah Indonesia tidak akan terbakar dalam perang saudara. Amin.

Tidak ada komentar: